Dinikahi Bos Jutek (21+) TAMAT#3
#BAB 1
(Maukah Anda menikah dengan saya?)
*
Meja di hadapan Nara penuh dengan piring berisi aneka macam makanan. Nara melongo melihat apa yang telah
dipesan Reinan untuk mereka berdua. Bagaimana saya bisa menghabiskan ini? Dua piring Chicken Cordon Bleu
lengkap dengan kentang goreng dan saus, dua piring waffel berlapis es krim, dua piring Chicken Steak dengan
saus lada hitam, dan beberapa gelas minuman lainnya.
“Apa kamu sedang kelaparan sekarang? Cara makan seperti ini bisa merusak dada bidang dan lengan kekarmu,
tahu,” gerutu Nara.
Reinan menatap Nara dengan tenang. “Itu tidak akan terjadi, aku jarang makan begini. Lagian tiap pagi juga
olahraga, nggak kayak kamu yang hobi ngebo sampai siang,” ejek Reinan.
Nara mendecakkan lidah sambil memutar bola mata, jengah. “Terserah kamu saja.”
Nara sudah bersiap dengan pisau dan garpunya. Tidak takut gendut. Saya tidak begitu terpikir dengan bentuk
badan. Toh, dia sering makan banyak, tapi tak kunjung gendut meski rajin mengonsumsi obat cacing setahun dua
kali. Mungkin efek banyak pikiran mengurus bayi besar yang bekerja sebagai model itu. Tak perlu pusing lagi,
seharian menemani Reinan syuting di daerah Bandung cukup membuat perut Nara menggeliat lapar. Semoga
semua makanan di depannya sanggup ia lahap.
Aktivitas makan malam mereka terhenti saat ponsel di saku Reinan berdenting. Ia meneguk air putih sebelum
akhirnya mengangkat telepon dengan malas—setidaknya gerakan tubuh dan raut muka itu yang Nara tangkap dari
nada bicara Reinan.
“Ya, halo, Pa,” sapa Reinan.
“....”
“Tidak.”
“....”
“Baiklah, sampai ketemu besok siang.” Reinan menutup teleponnya begitu saja.
Nara menghentikan kunyahan di mulut. “Papa kamu?”
Reinan hanya mengangguk. Ia kembali menyantap makanan dengan tidak bersemangat. Pemandangan ini sudah
biasa Nara temui. Reinan selalu berubah drastis saat berhubungan dengan Tuan Wiryawan—papanya. Menurut
Nara, hubungan antara keduanya tidak baik. Selalu saja berakhir dengan pertengkaran yang mampu membuat
mood booster majikan Nara itu rusak. Nara menghela napas tak kentara. Ia menggelengkan kepala pelan sambil
mengalihkan pandangan dari Reinan, kembali pada piring makan malamnya.
Sosok Reinan sungguh misterius. Tak mudah bagi Nara mengenal seorang Reinan, meski ia sudah bekerja padanya
sudah hampir setengah tahun.
**
Reinan merebahkan diri di sofa ruang tengah. Kondisi pikirannya kurang baik setelah permintaan Wiryawan untuk
menemuinya besok. Reinan tertawa getir. Laki-laki tua itu sepertinya belum mau berhenti mengusik hidupnya. Di
usianya yang 28 tahun ini sudah cukup membuat Reinan paham dengan segala kelakuan dan tekanan dari sang
papa. Bahkan mamanya rela merusak dirinya sendiri karena tak mampu menguasai rasa sakit yang diterima.
“Rei, aku pulang dulu, ya?” pamit Nara yang baru saja keluar dari arah dapur. Ia sudah bersiap dengan flap
backpack berbahan denim kesayangannya.
Reinan mengangguk dan bangkit meraih kunci mobil. Jaket dan sepatu Nara masih ada di mobil, belum sempat
dikeluarkan. “Besok jam sepuluh, antar aku ke rumah Papa. Aku malas nyetir,” ungkapnya. Tangan kanannya
mengulurkan jaket Nara yang baru ia ambil dari kursi mobil.
“Oke, aku selalu bisa tepat waktu,” jawab Nara. Gadis itu sibuk memakai sneakers-nya sambil duduk di lantai teras
rumah.
Reinan menatap Nara lekat-lekat. Mungkin Nara bisa membantunya keluar dari masalah yang ia hadapi karena
tekanan Wiryawan. Ia mengembuskan napas kasar. Tangannya terlipat di dada dengan punggung bersandar pada
pintu mobil.
“Ra,” panggilnya.
Yang dipanggil kontan mendongak, “Ya?”
“Kamu ... udah punya pacar?” Reinan terlihat kikuk menanyakan hal demikian. Ia buru-buru melempar pandangan
ke jalanan di depan rumah.
Nara membeku mendengar pertanyaan yang baru saja terlontar dari bibir tipis laki-laki beralis tebal itu. Kemudian,
ragu-ragu Nara menggelengkan kepala.
“Kenapa? Nggak laku?” cibir Reinan mengalihkan kekikukan sejenak.
Nara mendengus kesal. “Dasar manusia berhati batu. Beruntung kamu mengatakannya padaku. Jika kamu berkata
seperti itu pada Bu Lusi, habis kamu, Rei. Nggak bakalan dicarikan job lagi!”
“Ck, suka-suka aku mau ngomong gimana juga,” ucap Reinan cuek.
Semua ini memang sudah menjadi tabiatnya. Reinan kerap berkata ceplas-ceplos tanpa disaring terlebih dahulu.
Mungkin alat penyaring kata-kata yang baik di otak laki-laki ini sudah rusak. Anehnya, Reinan tidak akan pernah
merasa bersalah dengan setiap perkataan yang ia lontarkan. Dasar manusia bermulut pedang!
Nara berdiri dari duduk, menepuk kedua paha, dan merapikan ujung bajunya yang kusut. “Aku pulang, ya? Jangan
konsumsi obat tidur, cukup minum minuman hangat dan berendam di air hangat supaya tidurmu nyenyak.
Insomniamu itu tidak akan sembuh jika terus-terusan mengonsumsi obat tidur, mengerti?”
Reinan mengangguk. “Pulanglah, sampai ketemu besok.”
Nara mengangguk dan tersenyum. Ia sempat melambaikan tangan di depan pagar rumah. Bagi Reinan, menatap
Nara yang tersenyum dan melambaikan tangan itu menyenangkan. Karena ia percaya, lambaian tangan Nara selalu
menjanjikan gadis itu akan kembali lagi menemuinya. Tidak seperti wanita yang telah melahirkannya, ia
melambaikan tangan dan kemudian tak pernah kembali.
Berulang kali Reinan memarahi Nara karena kecerobohannya, tapi gadis itu selalu sanggup bersabar menghadapi
tuannya yang sedang mengeluarkan tanduk, dan bersedia mengucapkan maaf berulang-ulang. Reinan tahu, Nara
adalah gadis yang baik dan peduli pada orang di sekitarnya.
Tiga bulan yang lalu, gadis itulah yang berani menampik dan membuang obat tidur dari tangan Reinan. Ya, Reinan
adalah pengidap insomnia akut. Namun, berkat kegigihan Nara mengajaknya berkonsultasi dengan dokter,
mencarikan cara agar Reinan bisa tidur malam, ia berhasil mengurangi konsumsi obat tidur sedikit demi sedikit. Ya,
meski kadang Reinan masih curi-curi mengonsumsi bila sangat terpaksa saking tidak bisa tidurnya.
Reinan masih menatap punggung Nara hingga gadis bertubuh kurus itu melewati tikungan di depan rumahnya.
Semoga Nara adalah orang yang tepat.
**
Nara selalu tepat waktu dalam hal pekerjaan. Ia sedang duduk di teras rumah keluarga Wiryawan. Sudah tiga kali ia
menengok jam tangan Fossil di pergelangan tangan kirinya. Terkadang membosankan juga menunggui Reinan
yang tak kunjung selesai dengan urusannya. Nara mengulum bibir, menggoyangkan kaki ke kiri dan kanan. Bola
mata gadis itu mengedar ke segala penjuru. Sesekali menatap hamparan taman di depan rumah keluarga
Wiryawan.
Taman yang mengasyikkan. Kolam air mancur yang dipenuhi ikan koi berharga puluhan juta berenang-renang.
Beberapa tanaman bunga tersebar di sisi taman, dan Nara suka dengan aneka mawar di taman itu. Terlihat sedap
dipandang mata, bukan? Setidaknya pemandangan ini cukup untuk menghibur diri sebelum mengatasi mood
Reinan yang buruk nanti.
Suara derap langkah cepat terdengar dari arah dalam rumah. Nara segera berdiri dan bergegas mendahului Reinan
untuk membukakan pintu mobil.
“Pulang sekarang,” ucap Reinan singkat.
Nara hanya mengangguk sembari menyalakan mesin mobil.
“Cepetan, nggak pake lama. Ngebut,” perintahnya.
Nara kembali mengangguk dan melajukan mobil secepat yang ia bisa. Sebentar lagi di rumah pasti akan gerah
dengan segala amukan Reinan.
Benar saja, begitu tiba di rumah, Reinan masuk ke kamarnya, membanting pintu dengan kasar. Bunyi berdebum
dari samsak yang dipukul dan ditendang cukup keras bisa Nara dengar dari lantai bawah.
“Neng Nara, Mas Reinan habis bertengkar sama Tuan?” tanya Bi Lilis cemas.
Nara menoleh sebentar dan mengangguk sambil menggigit bibir. Keduanya duduk di ruang tengah, menunggu
hingga amarah tuan mereka mereda. Sampai suara debuman itu semakin lambat dan menghilang.
“Coba tengokin, Neng. Kasihan, takut kenapa-kenapa,” pinta Bi Lilis khawatir.
Nara mengelus bahu Bi Lilis agar tenang. Nara tahu, Bi Lilis merupakan asisten rumah tangga Reinan yang hampir
bekerja padanya cukup lama. Ia setia bekerja di rumah ini. Bahkan semenjak kepergian Laura—mama Reinan, ia
masih mau mengikuti ke mana pun Reinan tinggal.
Perlahan Nara menuju kamar Reinan di lantai atas, memutar kenop pintu. Nara menghela napas miris. Reinan
tampak duduk bersandar di dinding. Keringat mengucur membasahi kemeja putih yang ia kenakan. Entah
bagaimana, kamarnya sudah layaknya kapal pecah. Pecahan kaca rak buku berbaur dengan serpihan vas bunga
yang terburai di lantai tampak terserak.
“Reinan?” lirih Nara. Ia mendekat dan duduk bersimpuh di hadapan Reinan yang masih memalingkan wajah ke luar
jendela kamar.
“Apa yang bisa aku bantu? Bagilah sedikit beban hidupmu dengan orang lain yang bisa kamu percaya. Aku bisa ....”
Perkataan Nara terhenti. Secara tiba-tiba Reinan menoleh, menangkupkan kedua telapak tangannya di kedua pipi
Nara. Gadis berpipi tirus itu terdiam, menatap iris mata Reinan. Mata sehitam jelaga itu membuat Nara seperti
terhipnotis, bibirnya terkatup kencang tak sanggup mengurai kata. Reinan bukan tipe laki-laki yang bisa bersikap
romantis tiba-tiba di depan wanita, apalagi terhadap asistennya–Nara.
“Ra,” panggilnya, “will you marry me?” Bibir Reinan berucap dengan sisa tenaga dan napasnya setelah terkuras
menyerang samsak dan seluruh isi kamar.
Jantung Nara berdebar, desiran darahnya mengalir lebih deras membawa rasa hangat yang mengalir begitu saja
dari jantung hingga pipinya. Nara masih saja terdiam selama beberapa detik. Gadis itu gelisah.
=======
Uwuw ada yang mengungkapkan perasaan nih. Diterima apa enggak ya? Ditunggu like dan komentarnya.
0 Komentar